Jumat, 07 November 2014

Idealisme dan Realisme Guru yang Berkualitas


Terinspirasi dari refleksi mata kuliah FIlsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, MA. Pada tanggal 21 Oktober 2014
Idealisme dan realisme itu berdimensi. Ideal itu berdimensi sifatnya berekstensi dan intensi. Ekstensi dan intensi dari ideal adalah yang ada dan mungkin ada. Membangun dunia itu dapat dilakukan dengan cara mengintensifkan idealisme dan realisme. Idealisme yang dipaksakan dapat membuat sebuah fasis seperti Hitler lakukan. Jika kita tidak bisa menyeimbangkan antara idealisme dan realisme maka kita bisa terjebak pada ruang dan waktu. Sebagian dari kita sebenarnya telah terjebak dalam ruang dan waktu, tetapi sadar dan tidak sadar tapi kita itu juga sekaligus menembus ruang dan waktu. Terjebak dari ruang dan waktu itu ciri-ciri utamanya adalah terjebak pada ruang dan waktu yang salah.  
Guru yang berkualitas itu dapat dipercaya, maka guru yang berkualitas jika dia bisa menunjukkan eksistensi keberadaanya. Komponen guru yang berkualitas adalah guru yang mengada dan pengada. Guru mengada itu adanya proses untuk mencari atau mengembangkan ilmu atau professional development. Guru pengada itu guru mampu memproduksi seperti karya ilmiah dan jurnal atau mengadakan produk dari hasil kinerjanya. Untuk itu diperlukan metode atau strategi untuk mengukur guru kualitas yaitu guru mengada dan guru pengada. Mengetahui atau mengukur ilmu yang kita ketahui sama saja kita ingin mengetahui sifat sesuatu dengan mengukurnya dengan sifat lain. Dengan kata lain untuk mengukur sesuatu ilmu yang ingin kita ketahui kita harus mengetahui pedomannya. Dalam filsafat sumber ilmu berasal dari pikiran-pikiran para filsuf. Tiadalah orang yang sebenar-benarnya berfilsafat kalau dia tidak berdasarkan pikiran para filsuf karena semua sudah dipikirkan oleh para filsuf.
Kontradiksi yang sampai ke benda-benda konkret itu dinamakan anomali. Di dalam kontradiksi jika kita bisa menemukannya terdapat solusi, salah solusinya adalah tidak ada di suatu ruang maka dia sebetulnya mengadakan diruang yang lain. Kontradiksi dalam filsafat jawa “ngono ya ngono ning ojo ngono” intinya begitu ya boleh tapi jangan begitu. Misalnya diam ya diam tapi jangan sombong. Itu solusi dan kontra diksinya orang jawa. Kontra diksi bisa terjadi di dalam kehidupan manusia dengan istilah mayat hidup. Dari segi spiritualis manusia yang dikatakan seperti mayat hidup itu adalah orang yang tidak berdoa di sepanjang hidupnya karena dari segi spiritualis hidup adalah untuk berdoa. Hidup ini terjaga sifat-sifatnya ruang dan waktunya. Dari segi  filsafat  orang yang seperti mayat hidup adalah orang yang tidak memikirkan perbuatannya. Memikirkan perbuatannya bisa didefinisikan menurut pemikiran para filsuf. Setiap yang mungkin ada atau yang ada itu sebenarnya tidak perlu didefinisikan karena sebenarnya definisi itu juga telah dibatasi. Definisi itu sebenarnya membatasi tapi batasan tulah yang membuat manusia dapat menemukan jati dirinya. Tanpa batasan yang jelas kita tidak akan mengetahui makna dari suatu benda atau sesuatu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar