Minggu, 28 September 2014

Filsafat tentang Mitos, Logos, Kebenaran, dan Proses Manusia Mengetahui



(Terinpirasi dari Refleksi mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit M. A. pada tanggal 23 September 2014 )

Segala sesuatu yang kita lakukan karena dasar yang tidak jelas atau kita tidak mengetahui kebenarannya disebut dengan mitos. Terkadang tanpa kita sadari orang tua telah mengajarkan mitos kepada anaknya, bahkan manusia yang sudah mencapai tingkat dewasa dan bertambah logikanya masih sering menggunakan mitos yang diperolehnya ketika usia anak-anak. Mitos bisa tercipta secara sengaja dan tidak sengaja. Mitos yang sengaja diciptakan secara sengaja contohnya, seorang gadis tidak boleh duduk di depan pintu karena dapat menjadi perawan tua. Padahal kaitan secara ilmu yang bisa mengirakan apakah gadis bisa menjadi perawan tua jika duduk di depan pintu. Mitos tersebut sengaja diciptakan supaya tidak ada orang yang duduk di depan pintu karena mungkin bisa menghalangi seseorang yang ingin masuk-keluar.
 Sementara untuk mitos yang tidak disengaja contohnya adalah jika perilaku atau perkataan orang yang biasanya lebih tua atau menjadi panutan ditiru oleh orang yang lebih muda, padahal tidak ada ketentuan yang pasti tentang perilaku dan perkataan yang mereka lakukan. Bahkan , terkadang hal itu tidak sengaja dilakukan tapi sudah terlanjur ditiru dan yang meniru juga tidak mengetahui kenapa mereka ikut meniru perbuatan atau perkataan tersebut.
Untuk itu, lahirlah logos (ilmu) untuk menghapus segala mitos yang ada, karena logos berasal dari sesuatu yang jelas kebenarannya. Proses manusia mengetahui bisa sangat pribadi tergantung subyek pemikiranya (kita) dan obyek untuk dipikirkan.Proses manusia untuk mengetahui dapat juga disebut proses berpikir. Proses berpikir akan mengubah mitos menjadi logos. Proses pemikiran manusia diciptakan begitu lembutnya tanpa perlu goncangan dan kegaduhan karena lembutnya itu adalah kuasa yang telah diciptakan Tuhan sebagai anugerah untuk manusia. Untuk mengetahui proses berpikir diperhatikan metode dan obyeknya. Obyek berpikir dalam filasafat disebut dengan sesuatu yang mungkin ada. Contoh obyek yang mungkin ada adalah ketika seseorang sudah dijelaskan tentang suatu hal, benda, makhluk hidup yang mungkin saja ada atau tidak kita belum pernah bertemu atau mengetahui namanya.
Proses berpikir membutuhkan belajar dan pengalaman. Belajar mengadakan yang belum ada menjadi yang ada itulah gunanya pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Imanuel Kant, manusia terbentuk pengetahuannya atas dasar logika dan pengalaman. Sementara pandangan Rene Decrates yang lebih dikenal dengan Rasional mengatakan manusia berpikir dulu baru memperoleh pengalaman. Pandangan berbeda juga dinyatakan oleh John Locke yang menyatakan proses manusia berpikir didahului oleh pengalaman dulu baru pengetahuan. Imanuel Kant membantah semua pandangan tersebut dengan menyatakan pengetahuan yang diperoleh manusia diperoleh bersamaan dengan pengalaman tapi tidak semuanya berasal dari pengalaman sebab logika manusia bersifat analitik tetapi apriori. Artinya aproiri belum pernah merasakan atau bertemu tapi sudah dapat membayangkan dan memikirkan. Misalnya kita yang belum pernah melihat galaksi akan dengan mudahnya berbicara jika galaksi itu sangat luas, padahal kita belum pernah pergi mengelilingi seluruh galaksi yang ada. Jadi proses manusia mengetahui adalah sintesis dari logika dan pengalaman.
Kebenaran itu mutlak dan melintas ruang waktu. Ada perbedaan pendapat filsafat antara filsafat orang barat jika kebenaran itu adalah untuk mencari hakekat sementara kebenaran menurut orang Jawa adalah untuk mencari kesempuranaan. Ibaratnya jika kita belum belajar sesuatu kita masih seperti batu. Untuk belajar mengetahui sesuatu kita telah mengubah diri kita dari yang batu menjadi beberapa potong. Semakin banyak kita mengetahui kebenaran akan Sesuatu atau hal yang baru semakin banyak potongan-potongan yang tercipta hingga yang dulunya batu menjadi pasir lalu debu dan terkena air kemudian menguap. Itulah belajar filsafat, karena sebenar-benarnya hidup melintas ruang dan waktu. Manusia pasti mempunyai perbedaan pandangan, perbedaan itu yang membuat manusia ada di dunia alangkah indahnya perbedaan. Belajar filsafat pasti erat kaitannya dengan bahasa analog. Bahasa analog berupa bahasa perbandingan atau bahasa metafora (bahasa lambang) bahasa matematik juga termasuk bahasa metafora. Kenapa bahasa analog yang dipilih? Karena hanya bahasa analog yang dapat menembus ruang dan waktu. Misal hati sebagai spiritual, pikiran sebagai urusan manusia.
Sebagai seorang pendidik kita perlu mempelajari filsafat supaya kita tidak menjadi orang yang determinis. Determinis adalah sifat seseorang yang suka mengatur hidup orang lain atau menentukan nasib seseorang. Seorang pendidik harus siap dengan segala situasi yang akan dihadapi dalam proses pembelajaran, seperti halnya jika pendidik menemui “silly question”  atau lebih akrabnya disebut dengan pertanyaan konyol. Sesungguhnya tidak akan ada yang disebut pertanyaan konyol, hal itu pertanyaan konyol adalah suatu ungkapan dari ketidaksiapan pendidik menerima suatu keadaan. Pendidik tidak boleh menjugde seseorang hanya karena pertanyaan yang dia berikan terkesan konyol. Tindakan pendidik yang seperti itu adalah ciri dari sikap determinis yaitu bertindak otoriterian. Oleh sebab itu, belajar filsafat sangat diperlukan seorang pendidik agar mengetahui kebenaran yang hakiki dan menghilangkan mitos menggantinya menjadi logos. Itu semua karena di dunia ini tidak ada yang tetap, semuanya akan berubah.