Terinspirasi dari
refleksi mata kuliah FIlsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit,
MA. Pada tanggal 21 Oktober 2014
Idealisme dan
realisme itu berdimensi. Ideal itu berdimensi sifatnya berekstensi dan intensi.
Ekstensi dan intensi dari ideal adalah yang ada dan mungkin ada. Membangun
dunia itu dapat dilakukan dengan cara mengintensifkan idealisme dan realisme.
Idealisme yang dipaksakan dapat membuat sebuah fasis seperti Hitler lakukan. Jika
kita tidak bisa menyeimbangkan antara idealisme dan realisme maka kita bisa
terjebak pada ruang dan waktu. Sebagian dari kita sebenarnya telah terjebak
dalam ruang dan waktu, tetapi sadar dan tidak sadar tapi kita itu juga
sekaligus menembus ruang dan waktu. Terjebak dari ruang dan waktu itu ciri-ciri
utamanya adalah terjebak pada ruang dan waktu yang salah.
Guru yang
berkualitas itu dapat dipercaya, maka guru yang berkualitas jika dia bisa
menunjukkan eksistensi keberadaanya. Komponen guru yang berkualitas adalah guru
yang mengada dan pengada. Guru mengada itu adanya proses untuk mencari atau
mengembangkan ilmu atau professional development. Guru pengada itu guru mampu memproduksi
seperti karya ilmiah dan jurnal atau mengadakan produk dari hasil kinerjanya. Untuk
itu diperlukan metode atau strategi untuk mengukur guru kualitas yaitu guru
mengada dan guru pengada. Mengetahui atau mengukur ilmu yang kita ketahui sama
saja kita ingin mengetahui sifat sesuatu dengan mengukurnya dengan sifat lain. Dengan
kata lain untuk mengukur sesuatu ilmu yang ingin kita ketahui kita harus
mengetahui pedomannya. Dalam filsafat sumber ilmu berasal dari pikiran-pikiran
para filsuf. Tiadalah orang yang sebenar-benarnya berfilsafat kalau dia tidak
berdasarkan pikiran para filsuf karena semua sudah dipikirkan oleh para filsuf.
Kontradiksi
yang sampai ke benda-benda konkret itu dinamakan anomali. Di dalam kontradiksi
jika kita bisa menemukannya terdapat solusi, salah solusinya adalah tidak ada
di suatu ruang maka dia sebetulnya mengadakan diruang yang lain. Kontradiksi
dalam filsafat jawa “ngono ya ngono ning ojo ngono” intinya begitu ya boleh
tapi jangan begitu. Misalnya diam ya diam tapi jangan sombong. Itu solusi dan
kontra diksinya orang jawa. Kontra diksi bisa terjadi di dalam kehidupan
manusia dengan istilah mayat hidup. Dari segi spiritualis manusia yang
dikatakan seperti mayat hidup itu adalah orang yang tidak berdoa di sepanjang
hidupnya karena dari segi spiritualis hidup adalah untuk berdoa. Hidup ini
terjaga sifat-sifatnya ruang dan waktunya. Dari segi filsafat
orang yang seperti mayat hidup adalah orang yang tidak memikirkan
perbuatannya. Memikirkan perbuatannya bisa didefinisikan menurut pemikiran para
filsuf. Setiap yang mungkin ada atau yang ada itu sebenarnya tidak perlu
didefinisikan karena sebenarnya definisi itu juga telah dibatasi. Definisi itu
sebenarnya membatasi tapi batasan tulah yang membuat manusia dapat menemukan
jati dirinya. Tanpa batasan yang jelas kita tidak akan mengetahui makna dari
suatu benda atau sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar