(Terinpirasi dari Refleksi mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit M. A. pada tanggal 23 September 2014 )
Segala
sesuatu yang kita lakukan karena dasar yang tidak jelas atau kita tidak
mengetahui kebenarannya disebut dengan mitos. Terkadang tanpa kita sadari orang
tua telah mengajarkan mitos kepada anaknya, bahkan manusia yang sudah mencapai
tingkat dewasa dan bertambah logikanya masih sering menggunakan mitos yang
diperolehnya ketika usia anak-anak. Mitos bisa tercipta secara sengaja dan
tidak sengaja. Mitos yang sengaja diciptakan secara sengaja contohnya, seorang
gadis tidak boleh duduk di depan pintu karena dapat menjadi perawan tua.
Padahal kaitan secara ilmu yang bisa mengirakan apakah gadis bisa menjadi
perawan tua jika duduk di depan pintu. Mitos tersebut sengaja diciptakan supaya
tidak ada orang yang duduk di depan pintu karena mungkin bisa menghalangi
seseorang yang ingin masuk-keluar.
Sementara untuk mitos yang tidak disengaja
contohnya adalah jika perilaku atau perkataan orang yang biasanya lebih tua
atau menjadi panutan ditiru oleh orang yang lebih muda, padahal tidak ada
ketentuan yang pasti tentang perilaku dan perkataan yang mereka lakukan. Bahkan
, terkadang hal itu tidak sengaja dilakukan tapi sudah terlanjur ditiru dan
yang meniru juga tidak mengetahui kenapa mereka ikut meniru perbuatan atau
perkataan tersebut.
Untuk itu,
lahirlah logos (ilmu) untuk menghapus segala mitos yang ada, karena logos
berasal dari sesuatu yang jelas kebenarannya. Proses manusia mengetahui bisa
sangat pribadi tergantung subyek pemikiranya (kita) dan obyek untuk dipikirkan.Proses
manusia untuk mengetahui dapat juga disebut proses berpikir. Proses berpikir
akan mengubah mitos menjadi logos. Proses pemikiran manusia diciptakan begitu
lembutnya tanpa perlu goncangan dan kegaduhan karena lembutnya itu adalah kuasa
yang telah diciptakan Tuhan sebagai anugerah untuk manusia. Untuk mengetahui
proses berpikir diperhatikan metode dan obyeknya. Obyek berpikir dalam
filasafat disebut dengan sesuatu yang mungkin ada. Contoh obyek yang mungkin
ada adalah ketika seseorang sudah dijelaskan tentang suatu hal, benda, makhluk
hidup yang mungkin saja ada atau tidak kita belum pernah bertemu atau
mengetahui namanya.
Proses
berpikir membutuhkan belajar dan pengalaman. Belajar mengadakan yang belum ada
menjadi yang ada itulah gunanya pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Imanuel
Kant, manusia terbentuk pengetahuannya atas dasar logika dan pengalaman.
Sementara pandangan Rene Decrates yang lebih dikenal dengan Rasional mengatakan
manusia berpikir dulu baru memperoleh pengalaman. Pandangan berbeda juga
dinyatakan oleh John Locke yang menyatakan proses manusia berpikir didahului
oleh pengalaman dulu baru pengetahuan. Imanuel Kant membantah semua pandangan
tersebut dengan menyatakan pengetahuan yang diperoleh manusia diperoleh
bersamaan dengan pengalaman tapi tidak semuanya berasal dari pengalaman sebab
logika manusia bersifat analitik tetapi apriori. Artinya aproiri belum pernah
merasakan atau bertemu tapi sudah dapat membayangkan dan memikirkan. Misalnya
kita yang belum pernah melihat galaksi akan dengan mudahnya berbicara jika
galaksi itu sangat luas, padahal kita belum pernah pergi mengelilingi seluruh
galaksi yang ada. Jadi proses manusia mengetahui adalah sintesis dari logika
dan pengalaman.
Kebenaran itu
mutlak dan melintas ruang waktu. Ada perbedaan pendapat filsafat antara
filsafat orang barat jika kebenaran itu adalah untuk mencari hakekat sementara
kebenaran menurut orang Jawa adalah untuk mencari kesempuranaan. Ibaratnya jika
kita belum belajar sesuatu kita masih seperti batu. Untuk belajar mengetahui
sesuatu kita telah mengubah diri kita dari yang batu menjadi beberapa potong.
Semakin banyak kita mengetahui kebenaran akan Sesuatu atau hal yang baru
semakin banyak potongan-potongan yang tercipta hingga yang dulunya batu menjadi
pasir lalu debu dan terkena air kemudian menguap. Itulah belajar filsafat,
karena sebenar-benarnya hidup melintas ruang dan waktu. Manusia pasti mempunyai
perbedaan pandangan, perbedaan itu yang membuat manusia ada di dunia alangkah
indahnya perbedaan. Belajar filsafat pasti erat kaitannya dengan bahasa analog.
Bahasa analog berupa bahasa perbandingan atau bahasa metafora (bahasa lambang)
bahasa matematik juga termasuk bahasa metafora. Kenapa bahasa analog yang
dipilih? Karena hanya bahasa analog yang dapat menembus ruang dan waktu. Misal hati
sebagai spiritual, pikiran sebagai urusan manusia.
Sebagai
seorang pendidik kita perlu mempelajari filsafat supaya kita tidak menjadi
orang yang determinis. Determinis adalah sifat seseorang yang suka mengatur
hidup orang lain atau menentukan nasib seseorang. Seorang pendidik harus siap
dengan segala situasi yang akan dihadapi dalam proses pembelajaran, seperti
halnya jika pendidik menemui “silly
question” atau lebih akrabnya
disebut dengan pertanyaan konyol. Sesungguhnya tidak akan ada yang disebut
pertanyaan konyol, hal itu pertanyaan konyol adalah suatu ungkapan dari
ketidaksiapan pendidik menerima suatu keadaan. Pendidik tidak boleh menjugde
seseorang hanya karena pertanyaan yang dia berikan terkesan konyol. Tindakan
pendidik yang seperti itu adalah ciri dari sikap determinis yaitu bertindak
otoriterian. Oleh sebab itu, belajar filsafat sangat diperlukan seorang
pendidik agar mengetahui kebenaran yang hakiki dan menghilangkan mitos
menggantinya menjadi logos. Itu semua karena di dunia ini tidak ada yang tetap,
semuanya akan berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar