BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler
Program Akselerasi merupakan bentuk
layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada siswa dengan kemampuan dan
kecerdasan luar biasa untuk menyelesaikan pendidikan dalam jangka waktu yang
lebih pendek dari waktu yang seharusnya ditempuh.
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa telah
dilakukan sejak tahun 1974 dalam bentuk kebijakan atau program. Secara historis
kebijakan pemerintah tersebut dapat dilihat pada urain berikut
1974
Pemberian
beasiswa bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya
1982
Balitbang
Dikbud membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB).
Kelompok Kerja ini mewakili unsur-unsur struktural serta unsur-unsur keahlian
seperti Balitbang Dikbud, Ditjen Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi,
serta unsur keahlian di bidang sains, matematika, teknologi (elektronika,
otomotif, dan pertanian), bahasa, dan humaniora, serta psikologi
1984
Balitbang
Dikbud menyelenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari
tingkat SD, SMP, SMA di satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah
pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program pelayanan yang diberikan berupa pengayaan
(enrichment) dalam bidang sains (Fisika, kimia, Biologi, dan Ilmu
Pengetahuan Bumi dan Antariksa), matematika, teknologi (elektronika, otomotif,
dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora, serta keterampilan
membaca, menulis, dan meneliti. Pelayanan
pendidikan dilakukan di kelas khusus di luar program kelas reguler pada
waktu-waktu tertentu. Perintisan
pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring
dengan pergantian pimpinan dan kebijakan di jajaran Depdikbud.
1989
Di dalam UU
no. 2 tahun 1989 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 ayat
2 dikemukakan bahwa warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar
biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
Pasal 24,
setiap peserta didik pada satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut:
(1) mendapat perlakuan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (5)
menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
1993
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan kebijakan tentang Sistem PenyelenggaraanSekolah
Unggul (Schools of Excellence) dan membukanya di seluruh
provinsi sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan
khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas
siswa
1994
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan dokumen tentang “Pengembangan Sekolah
Plus” yang menjadi naskah induk tentang “Sistem Penyelenggaraan Sekolah
Menengah Umum Unggul”.
1998/1999
Dua sekolah
swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba
pelayanan pendidikan bagi anak berpotensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam
bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari
Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah
2000
Program
percepaan belajar dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas
Depdiknas menjadi Program Pendidikan Nasional.
Pada
kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat
Keputusan (SK) Penetepan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar
kepada 11 sekolah terdiri dari 1 SD, 5 SMP dan 5 SMA di DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
2001/2002
Diputuskan
penetapan kebijakan diseminasi program percepatan belajar pada beberapa sekolah
di beberapa provinsi di Indonesia
2003
UU no. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (4) menyebutkan
warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 32
ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik,emosional, mental, sosial,dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.
2006
Diterbitkan
Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
2009
diterbItkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70/2009 Tentang
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
Pasal 1 :
“Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.
Pasal
5 ayat (1) : “Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah”. Sekolah SSN atau RSBI
adalah sekolah yang memiliki sumber daya yang memadai untuk menyelenggarakan
pendidikan bagai peserta didik didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa dalam bentuk program akselerasi.
2010
diterbitkan
Peraturan Pemerintah no. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pasal 134
(1)
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi
prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya.
(2)
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya
tanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual,
emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan kecerdasan lain.
Pasal 135
(1)
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal TK/RA,
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat.
(2)
Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa dapat berupa:
a. program
percepatan; dan/atau
b. program
pengayaan.
(3) Program
percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persyaratan:
1.
peserta didik memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang diukur dengan tes psikologi;
2.
peserta didik memiliki prestasi
akademik tinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni dan/atau olahraga; dan
3.
satuan pendidikan penyelenggara
telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
(4) Program
percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan menerapkan
sistem kredit semester sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan dalam bentuk:
a. kelas biasa;
b. kelas khusus; atau
c. satuan pendidikan khusus.
Pasal 136
Pemerintah
provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan khusus bagi
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Penyelenggaraan
program akselerasi ini merupakan salah satu implementasi dari Undang-undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4, yaitu
“bahwa warga Negara yang memiliki kercerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus”. Program akselerasi adalah program pelayanan
pendidikan peserta didik yang memiliki potensi cerdas istimewa dan/atau
berbakat istimewa (CI/BI). Dalam program akselerasi, penyelesaian pendidikan
dapat ditempuh dengan jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan
program seperti biasanya. Artinya peserta didik kelompok ini dapat menyelesaikan
pendidikan di SD/MI dalam jangka waktu 5 tahun dan di SMP/MTs atau SMA/MA dalam
waktu 2 tahun.
Dengan mengacu pada berbagai
hasil penelitian, diperkirakan terdapat 2,2% anak usia sekolah yang memiliki
kualifikasi CI+BI. Menurut data BPS tahun 2006 terdapat 52.989.800 anak usia
sekolah. Artinya terdapat sekitar 1.059.796 anak usia sekolah yang memiliki
kualifikasi CI+BI. Berdasarkan data Asosiasi CI+BI Nasional, baru sekitar 9551
anak CI+BI yang dapat mengikuti program akselerasi. Ditinjau dari segi kelembagaan,
dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan bagi anak
CI+BI. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru 7 madrasah yang
menyelenggarakan program akselerasi. Ini berarti masih sedikit
sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa CI+BI.
Anak-anak
CI+BI (gifted) bukanlah anak dengan populasi seragam. Ia mempunyai
banyak variasi, baik variasi pola tumbuh kembangnya, variasi personalitasnya,
maupun variasi keberbakatannya. Semakin tinggi perkembangan intelegensinya maka
akan terjadi deskrepansi (perbedaan) di berbagai domain perkembangan.
Deskrepansi ini bukan saja akan menyangkut perkembangan dalam individu, tetapi
juga akan menyangkut perkembangan antar individu. Kondisi inilah yang sering membawa
berbagai kesulitan pada anak-anak gifted dan sering salah interpretasi.
Anak-anak CI+BI (gifted) berbeda dengan
anak cerdas (bright/high achiever). Oleh karena itu, anak cerdas tidak
dapat dimasukkan dalam kelompok gifted karena mereka memiliki karakteristikk
yang berbeda. Meskipun mereka memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun
kemampuan mereka dalam analisis, abstraksi dan kreatifitas tidak se-luar biasa
anak-anak CI+BI. Berikut adalah perbedaan karakteristik antara anak CI+BI
dengan anak cerdas:
Cerdas/Berbakat istimewa
(Gifted-talented)
|
Cerdas
(Bright/ High Achiever)
|
Mempersoalkan pertanyaan
|
Menjawab pertanyaan dengan benar
|
Penasaran dengan sesuatu
|
Berminat dengan sesuatu
|
Terlibat secara emosional, mental
dan fisik
|
Menunjukkan perhatian
|
Punya gagasan yang aneh, konyol
dan di luar keumuman
|
Punya gagasan yang bagus, populer
|
Jarang belajar, hasil ujian bagus
|
Bekerja keras untuk sukses ujian
|
Memperluas konteks jawaban
|
Menjawab soal sesuai dengan yang
ditanyakan
|
Di luar kelompok, berprestasi
normal
|
Di puncak daftar peserta didik
berprestasi
|
Gemar kompleksitas
|
Suka linearitas
|
Pengamat yang kritis, bawel
|
Pemerhati yang baik
|
Menyimak untuk siapp berdebat
|
Mendengarkan dengan penuh minat
|
1-2 kali pengulangan untuk
menguasai materi
|
6-8 kali pengulangan untuk
menguasai materi
|
Membentuk gagasan sendiri
|
Memahami gagasan orang lain dengan
baik
|
Lebih suka bergaul dengan orang dewasa
atau lebih tua
|
Senang berteman dengan teman
sebaya
|
Mempertanyakan keputusan
|
Menarik kesimpulan
|
Memulai proyek sendiri
|
Menyelesaikan tugas yang diberikan
|
Bagus dalam menciptakan sesuatu
yang baru
|
Pintar menyalin, meniru
|
Suka belajar
|
Suka sekola
|
(sumber:
CGIS-Net Assessment System, 2008 dalam kumpulan makalah Konferensi Nasional
ke-1 Pengembangan pendidikan Khusus untuk siswa Cerdas/Berbakat Istimewa,
Malang, 5-8 Februari 2010)
Dengan
memperhatikan karakteristik anak CI+BI di atas, ketiadaan layanan pembinaan
yang sistematis terhadap peserta didik CI+BI, bangsa Indonesia akan kehilangan
kekayaan SDM yang tidak terukur nilainya. Strategi pendidikan yang ditempuh
selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar kepada semua peserta
didik sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar peserta didik dalam
kecakapan, minat dan bakatnya. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus bagi
siswa CI+BI diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum dikembangkan
secara optimal, akan tumbuh dan menunjukkan kinerja yang baik.
Pemaksaan
agar siswa CI+BI dimasukkan dalam kelas bersama anak non CI+BI juga tidak
terlalu tepat. Hollingsworth (1995) bahkan menyatakan bahwa lingkungan
sekolah/belajar regular, tidak sesuai dengan kebutuhan siswa CI+BI. Akibatnya
jika lingkungan itu dipaksakan pada siswa CI+BI, justru mereka akan mengalami
kesullitann dalam menjalin hubungan dengan sebaya dan juga dapat membentuk
sikap apatis.
Dalam proses
pembelajarannya, kurikulum yang diberikan pada siswa CI+BI tidak boleh sama
dengan kelas reguler, karena bobot dan kedalamannya tidak sesuai dengan
karakter siswa CI+BI. Materi yang disajikan kepada anak CI+BI harus berada pada
tingkat tinggi. Dalam konteks yang lebih modern, pengertian akselerasi tidak
hanya isi pelajaran disajikan dalam bentuk yang ringkas dan dipercepat. Tetapi
juga terkait dengan bagaimana teknik instruksional direkayasa. Oleh karena itu,
upaya mengembangkan standar isi mandiri bagi program CI+BI menjadi penting
untuk dilakukan.
B.
Persamaan dan Perbedaan Kelas Akselerasi dan Kelas
Biasa
Kurikulum program akselarasi memfasilitasi percepatan
dan pengayaan belajar, dan dimaksudkan untuk mengembangkan siswa kea rah yang
lebih positif bagi perilaku kognitif, kreativitasm komitmen terhadap tugas,
perilaku kecerdasan emosi, dan perilaku kecerdasan spiritual (Departemen
Pendidikan Nasional, 2003).
Kurikulum yang dipakai program akselerasi dan program
regular pada dasarnya adalah sama, perbedaannya terdapat dalam hal sebagai
berikut (Departemen Pendidikan Nasional 2003):
1. Program akselerasi lebih menekankan pada materi
esensial dan dikembangkan melalui system pembelajaran yang dapat memacu dan
mewadahi integritas antara pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika
serta dapat mengembangkan kemampuan berfikir holistic, kreatif, sistemik dan
sistematik, linier, dan konvergen.
2. Kurikulum program akselerasi dikembangkan secara
terdiferensiasi, mencakup empat dimensi yang saling berhubungan yaitu:
a. Dimensi umum, yaitu kurikulum yang memberikan
keterampilan dasar, pengetahun, pemahaman, nilai dan sikap, yang memungkinkan
siswa berfungsi sesuai tuntutan masyarakat dan tuntutan pendidikan pada jenjang
yang lebih tinggi.
b. Dimensi diferensiasi, yaitu kurikulum yang berkaitan
erat dengan cirri khas perkembangan siswa cerdas dan berbakat istimewa, yang
merupakan program khusus dan pilihan terhadap bidang studi tertentu.
c. Dimensi non-akademis, yaitu bagian kurikulum yang
memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar di luar kegiatan sekolah formal
melalui media lain, seperti radio, televise, internet, CD-ROM, wawancara pakar,
kunjungan ke museum dan sebagainya.
d. Dimensi suasana belajar, yaitu pengalaman belajar yang
dijabarkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Iklim akademik, sistem
pemberian hadiah (rewards) dan hukuman (punishment), hubungan
antara sesama siswa, antara guru dan siswa, antara guru, antara siswa dan orang
tua, serta antara orangtua dan siswa, merupakan unsur-unsur lingkungan suasana
belajar yang menentukan proses dan hasil belajar.
3.
Kurikulum
berdiferensiasi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan siswa yang
cerdas dan berbakat dengan cara memberikan pengalaman belajar yang berbeda
dalam arti kedalaman, keluasan, percepatan, maupun dalam jenisnya. Modifikasi
kurikulum dapat dilaksanakan dengan cara:
a.
Mengenalkan isi
kurikulum tertentu yang tidak diperoleh siswa kelas reguler.
b.
Memberi materi
pelajaran secara lebih luas, mendalam, dan intensif.
c.
Memberi
pengalaman belajar baru yang tidak terdapat dalam kurikulum umum.
d. Memberi pengalaman belajar berdasarkan keterlibatan
masyarakat sekitar, melalui kerjasama dengan instansi baik pemerintah maupun
swasta bagi kepentingan siswa maupun instansi.
4. Dalam pelaksanaannya, program kegiatan belajar yang
dapat dilakukan secara tatap muka dengan guru pembina, dengan pakar atau belajar
sendiri berdasarkan bahan yang diberikan guru pembina atau yang dipilih sendiri
oleh siswa, atau berdasar modul pemerkayaan.
5. Struktur program sama dengan kelas regular, yang
berbeda adalah waktu penyelesaian kurikulum yang lebih cepat daripada kelas
regular. Percepatan tersebut untuk mengefektifkan system pembelajaran dengan
mengurangi pembahasan terhadap materi yang tidak esensial.
6. Kegiatan belajar-mengajar diarahkan pada terwujudnya
proses belajar tuntas. Selain itu strategi pembelajaran juga diarahkan untuk
memacu siswa lebih aktif dan kreatif sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan
masing-masing siswa.
1.
Persamaan
Kelas Akselerasi dengan kelas Biasa(Reguler)
a. Alokasi
jam belajar tatap muka atau lama belajar diatur sama dengan program reguler
dalam satu minggu.
b. Sama-sama
merupakan pendidikan formal.
2.
Perbedaan
Kelas Akselerasi dengan kelas Biasa (Reguler)
a.
Kelas Akselerasi,
guru-guru terbaik sekolah, everlasting perhatian dari guru dan sekolah,
didukung psikolog khusus, dan fasilitas spesial lain.
b.
Di kelas akselerasi
tantangan mengajar jauh lebih berat. Sebab kita menghadapi anak yang super, dan
memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
c.
Kelas Akselerasi adalah
kelas yang proses seleksinya sangat ketat. Para siswa diberi kesempatan belajar
di SMP hanya dalam waktu 2 (dua) tahun saja. Berbeda dengan kelas reguler,
materi pembelajaran yang diberikan di kelas akselerasi adalah hanya materi esensial.
d.
Secara umum dalam kelas
akselerasi, siswa yang berbakat intelektual tinggi mendapat perlakuan khusus
sehingga dapat menyelesaikan program SD, SLTP, dan SMU lebih cepat dari siswa
lain.
e.
Kelas akselerasi
adalah, siswa yang bakat intelektualnya tinggi dibantu secara khusus sehingga
mereka mendapatkan bantuan pengajaran lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat
cepat lulus, diperkirakan setahun lebih awal dibanding siswa biasa. Jadi
keuntungannya terletak pada akselerasi pengajaran.
C.
Keuntungan dan Kerugian Kelas Akselerasi dibandingkan Kelas
Biasa
1. Keuntungan Akselerasi
Menurut Southern dan Jones,
keuntungan dari dijalannyanya program akselerasi bagi anak berbakat sebagai
berikut:
a. Meningkatkan efisiensi
Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran
dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan elajar lebih baik dan
lebih efesien.
b. Meningkatan efetivitas
Siswa yang terikat belajar pada tingkat kelas yang
dipersiapkan dan menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa
yang paling efektif.
c. Penghargaan
Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu
sepantasnya meperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya.
d. Meningkatkan waktu untuk karier
Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan
produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya.
e. Membuka siswa pada kelompok barunya
Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk
bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis
yang sama.
f. Ekonomis
Keuntungan bagi sekolah adalah tidak perlu
mengeluarkan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat. Program
akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan pendidikan yang tepat
bagi siswa cerdas, sehingga siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional
pada usia lebih muda dan memperoleh kesempatan untuk bekerja produktif.
2. Kelemahan Akslerasi
Menurut Southern dan Jones,
kekurangan dari dijalannyanya program akselerasi bagi anak berbakat sebagai
berikut:
a. Segi akademis
1) bahan ajar yang diberikan terlalu tinggi bagi siswa
akseleran. Hal ini akan membuat mereka menjadi siswa yang tertinggal dibelakang
kelompok teman barunya, dan akan menjadi siswa yang berprestasi sedang-sedang
saja, bahkan siswa akseleran yang gagal.
2) Bisa jadi
kemampuan siswa akseleran yang terlihat melebihi teman sebayanya hanya bersifat
sementara. Dengan bertmbahnya usia, kecepatan prestasi siswa menjadi
biasa-biasa saja dan sama dengan teman sebayanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan
akselerasi menjadi tidak perlu dan siswa kaseleran lebih baik kembali dilayani
dalam kelompok kelas reguler.
3) Siswa
akseleran mungkin mengembangkan kedewasaan yang luar biasa tanpa adanya
pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
4) Pengalaman-pengalaman
yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami siswa akseleran karena tidak
bagian dari kurikulum.
b. Segi penyesuaian sosial
1) Siswa akan didorong untuk berprestasi dalam bidang
akademiknya sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya.
2)
Siswa akan
kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya. Mereka akan mengalami
hambatan dalam bergaul dengan teman sebayanya.
3)
Siswa yang
kelasnya lebih tua kemungkinan akan menolaknya, sehingga siswa akseleran akan
kehilangan waktu bermain dengan teman sebayanya. Akibatnya siswa akan
kekurangan jumlah dan frekuensi pertemuan dengan temannya.
c. Aktivitas kurikuler
Kebanyakan aktivitas ekstrakulikuler berkaitan erat
dengan usia. Hal ini menyebabkan siswa akseleran akan berhadapan dengan teman
sekelasnya yang lebih tua dan tidak memberikan kesempatan. Hal ini menyebabkan
siswa kehilangan kesempatan yang penting di luar kurikulum sekolah normal dan
kehilangan pengalaman yang berkaitan dengan karirnya di masa depan.
d. Segi
penyesuaian emosional
1) siswa akseleran pada ahirnya akan mengalami tekanan
–tekanan yang ada.
2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya
tekanan dan tuntutan berprestasi.
3) Siswa yang mengalami sedikit kesempatan untuk
membentuk persahabatan pada masanya akan terasing atau agresif terhadap orang
lain.
4) Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa
akseleran kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.
D.
Problematika Pelaksanaan Program Kelas Akselerasi
Kelas Akselerasi Ganggu Masalah
Sosial Siswa
Semarang (ANTARA
News) - Program kelas akselerasi yang diberlakukan sejak 2004 masih ada
kekurangan terutama berkaitan dengan masalah sosial siswa, kata Koordinator
Kelas Akselerasi Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Semarang, Abdullah Sigimin.
"Memang secara kognitif para siswa
kelas akselerasi bagus, tetapi karena kesibukan yang luar biasa akhirnya porsi
kehidupan sosial ini kurang", katanya di Semarang, Senin. Menurut dia, berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami
oleh siswa kelas akselerasi, mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi
lebih banyak dibandingkan dengan siswa reguler. Selain itu, kata dia,
dari sisi internal, kelas akselerasi lebih terlihat ekslusif dan membuat
siswanya merasa lebih dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat
kelompok-kelompok dalam sekolah. Persoalan lain, kata dia, ada beberapa siswa yang masuk
kelas akselerasi bukan karena keinginannya tetapi orang tua sehingga bagi siswa
seperti itu proses belajarnya tidak bisa maksimal dan tentu juga berdampak
terhadap hasilnya.
Untuk mengatasi
berbagai persoalan tersebut, kata dia, sekolahnya membuat berbagai program
seperti ekstrakurikuler yaitu "Live In", kemah sosial, karya wisata,
dan lomba antarkelas. Ia
mengharapkan, program itu membuat siswa akselerasi lebih mengenal dan membaur
dengan siswa reguler, bahkan dapat mengembangkan solidaritas sehingga tidak
timbul kelompok-kelompok di dalam sekolah. Ia mengatakan,
program kelas akselerasi memang masih sedikit peminatnya.
"Mungkin
karena memang minat siswa yang kurang atau karena persyaratan yang cukup
sulit," katanya. Di sekolahnya, kata dia, siswa yang ingin memasuki kelas
akselerasi harus lulus tes akademis dan psikologi, nilai rapor kelas VII hingga
kelas IX rata-rata harus 8.
"Hal tersebut terbukti, dari jumlah
435 siswa yang di terima di SMAN 3 Semarang, untuk kuota kelas akselerasi 20
tempat duduk, hanya sekitar 13 persen siswa yang mengikuti tes psikologi untuk
memasuki kelas akselerasi," katanya. (*)
Persoalan
Kelas Akselerasi
Oleh: Paulus Mujiran
PENYELANGGARAAN kelas akselerasi (mempercepat) yang
sudah diujicobakan beberapa tahun terakhir ini masih mengandung pro dan kontra.
Beberapa kelemahan mengiringi penyelenggaraan kelas akselerasi itu. Pertama,
stigmatisasi pada diri siswa yang ada di kelas reguler. Dalam sebuah kesatuan
lingkungan, bisa dikatakan bahwa kelas reguler adalah kelas yang relatif jelek
bila dibandingkan dengan kelas akselerasi.
Kedua, timbulnya budaya inferior,
muncul kelas eksklusif, arogansi, dan elitisme. Dengan kondisi yang betul-betul
berbeda dengan segenap potensi intelektual yang lebih tinggi, jelas siswa-siswa
kelas akselerasi akan jauh lebih berprestasi dibanding kelas reguler.
Inferioritas pun mudah menghinggapi siswa-siswi kelas reguler, dan sebaliknya
eksklusivisme, arogansi dan elitisme akan mudah melekat pada diri siswa-siswa
kelas akselerasi. Masing-masing siswa membentuk group reference mereka
sendiri-sendiri.
Ketiga, terjadi dehumanisasi pada
proses belajar di sekolah. Materi pelajaran yang diselesaikan oleh siswa
reguler selama satu tahun harus dilalap habis siswa akselerasi selama satu
semester (setengah tahun). Dengan alokasi waktu yang jauh lebih pendek ini mau
tidak mau siswa harus belajar keras. Segi intelektualitas, potensi mereka
memang memungkinkan. Tetapi, mereka bukanlah mesin yang bisa diset untuk hanya
melakukan satu aktivitas.
Keempat, siswa kelas akselerasi
tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif.
Padatnya materi yang harus mereka terima, banyaknya pekerjaan rumah yang harus
mereka selesaikan, ditunjang kemampuan intelektual yang mereka miliki dan
teman-teman sekelas yang rata rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka
menjadi terbatas. Tugas-tugas itu bisa mereka selesaikan sendiri. (Bernas,
18 Maret 2004).
Kelemahan
Kelas ini dirancang menjadi kelas
unggulan. Proses rekrutmen untuk melihat potensi siswa dilakukan secara
multidimensional. Rekrutmen dilakukan dengan mengembangkan konsep keberbakatan
dari Renzulli, Reis dan Smith (1978). Konsep itu menyebutkan bahwa anak
berbakat mempunyai IQ minimal 125 menurut skala Wechsler, selain itu harus
mempunyai task commitment dan creativity quotion di atas
rata-rata.
Dari sisi waktu, penyelenggaraan
kelas akselerasi menguntungkan, siswa yang bakat intelektualnya tinggi dibantu
secara khusus, sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran lebih sesuai
bakatnya. Mereka akan dapat cepat lulus, diperkirakan setahun lebih awal dibanding
siswa biasa. Jadi, keuntungannya terletak pada akselerasi pengajaran. Dengan
program percepatan ini diharapkan siswa berbakat tidak bosan di kelas yang sama
dengan siswa lain, sehingga tidak mengganggu, mengacau kelas, dan dia dapat
terus maju dengan cepat. Kelas model ini memang menjanjikan siswa lebih cepat
selesai dibandingkan melalui tahapan-tahapan pada umumnya.
Dalam perdebatan soal pendidikan
nasional, banyak dipersoalkan kurangnya pendidikan nilai di sekolah-sekolah,
dari SD sampai SMU. Disadari, kebanyakan sekolah terlalu menekankan segi
kognitif saja, tetapi kurang menekankan segi nilai kemanusiaan yang lain. Maka
mulai disadari pentingnya pendidikan nilai, termasuk pendidikan budi pekerti
dan segi-segi kemanusiaan lain, seperti emosionalitas, religiusitas,
sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, dan afektivitas. Masalahnya,
pendidikan nilai tidak bisa dipercepat, bahkan instan.
Pendidikan nilai kemanusiaan
memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama, sehingga sulit
dipercepat. Misalnya, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan dalam banyak
tindakan interaksi antarsiswa dan kerja sama; penanaman nilai penghargaan
terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama orang lain,
dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya.
Sebagai bangsa, kita perlu membantu
anak-anak yang belum dapat menikmati pendidikan. Mereka akan menjadi bagian
penting pengembangan bangsa ini di kemudian hari, maka kita bertanggung jawab
untuk membantu mereka. Jangan sampai ada segelintir siswa dibantu dipercepat,
sedangkan kebanyakan anak yang masih tidak dapat menikmati pendidikan minimal
dibiarkan atau tidak diurus karena kurang menarik dan memakan biaya besar.
Berapa lembaga yang kini ikut memikirkan pendidikan "anak-anak
jalanan" dibanding yang mulai mernikirkan "program akselerasi?"
Dengan mencermati
kelemahan-kelemahan kelas akselerasi, konsep itu mestinya dikembalikan pada
gagasan awal sebagai proses uji coba. Landasannya ialah, perkembangan
intelektual dan moral anak yang baik tidak bisa instan, mereka harus dipaksa
melalui tahapan-tahapan perkembangan sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Memaksakan diri dalam berbagai ketimpangan tiada ubahnya mengejar gengsi,
gengsi orang tua mempunyai anak-anak cerdas. Juga gengsi di pihak sekolah,
karena akan dianggap sekolah unggulan, dan biaya pendidikan di kelas tersebut
relatif memang lebih mahal.
Yang Kita Butuhkan
Menurut Prof Suyanto (2003)
pengelompokan siswa secara homogen berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas
superbaik, amat baik, baik, sedang, kurang, sampai ke kelas "gombal",
tidak memiliki dasar filosofi yang benar. Yang memprihatinkan, pengelompokan
itu disertai program promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu
mempertahankan prestasi akademiknya bisa digusur dari kelas superbaik ke kelas
sedang. Bahkan mungkin bisa meluncur ke kelas paling bawah, kelas
"gombal".
Persoalannya, apakah program kelas
unggulan atau akselerasi mampu mendongkrak mutu SDM kita yang dinilai masih
berada pada aras rendah? Apakah ada jaminan, anak-anak berotak cerdas yang
jumlahnya hanya beberapa gelintir yang telah sukses menernpuh program kelas
unggulan, atau akselerasi mampu menjadi generasi cerah budi yang memahami
dinamika hidup yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya?
Jangan-jangan program kelas unggulan itu dibentuk hanya berdasarkan sikap
latah.
Kalau ini yang terjadi, dunia
pendidikan kita telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Implikasinya, out-put yang
dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-generasi berotak
brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani dan
spiritual. Pada akhirnya justru membikin mereka menjadi asing hidup di
tengah-tengah masyarakat. Tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi
kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.
Kita amat membutuhkan sosok manusia
yang memiliki kecerdasan spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai
kejujuran, yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang
menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan
bila terjadi silang sengketa, yang memberikan kepastian bila terjadi
kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran bila terjadi beragarn bentuk penyelewengan
dan kesesatan. Yang menjadi pembawa terang di tengah kegelapan hidup.
Nilai-nilai kejujuran, sudah menjadi
moralitas bangsa yang tergadaikan. Budaya malu sudah nyaris hilang dari memori
bangsa. Korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya marak terjadi di
mana-mana. Perilaku keagamaan hanya sampai pada tataran ekstrinsik. Agarna
hanya dijadikan sebagai topeng untuk pencapaian kepentingan. Para elite
pemimpin tidak bisa jadi teladan bagi anak-anak bangsa. Yang terjadi justru
sebuah kebanggaan bila mereka mampu melakukan pembohongan publik, sehingga
terlepas dari jerat hukum yang mengancam mereka atas perbuatan korup yang telah
dilakukan. Sementara itu, di aras akar rumput, sentimen kesukuan dan etnis,
anarkisme yang dibungkus fanatisme keagamaan, main hakim sendiri, dan kekerasan
lainnya menjadi adonan perilaku yang gampang disaksikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Apakah kelas akselerasi mampu
menjawab dilematika pendidikan yang "tergadaikan" ini? Secara
konseptual bagus, tetapi jika di dataran implementasi menimbulkan pro dan
kontra, perlulah dicari solusi yang paling tepat. Sebagai sebuah proses
pendidikan memerlukan pentahapan yang matang. (29)
-Paulus Mujiran - pengamat pendidikan, mahasiswa
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, tinggal di Semarang.
E. Solusi
Menegakkan Hukum di Indonesia
1. Sekolah
perlu mewajibkan siswa kelas akselerasi mengikuti kegiatan ekstra kuliler seperti
kelas regular sehingga siswa kelas akselerasi tidak terus berkutat dengan tugas
melainkan dapat melatih kerja sama, hubungan sosial dengan siswa lain, tanggung
jawab, dan lain-lain. Tentunya disesuaikan dengan jadwal belajar mereka
sehingga meskipun diwajibkan mengikuti kegiatan akselerasi namun siswa
akselarasi tidak merasa terganggu dengan belajarnya.
2. Guru
perlu memberikan pengalaman belajar yang melibatkan siswa berinteraksi dengan
lingkungan hal ini tentu sangat bergantung dengan metode pembelajaran yang
digunakan oleh guru seperti karya wisata, role playing, wawancara siswa dan
lain-lain untuk meningkatkan perkembangan afektif siswa akselerasi dan lebih
student center.
3. Sekolah
perlu mengadakan seleksi yang cukup ketat untuk menyeleksi siswa yang bisa
mengikuti jalur akselerasi tidak hanya mengukur tes kecerdasan IQ saja namun
diperlukan adanya tes EQ dan tes spriritual untuk mengetahui sejauh mana
perkembangan siswa dan mendiagnosis tindakan apa yang harus dilakukan kepada
siswa yang memiliki IQ tinggi tapi EQ rendah.
4. Dalam
kegiatan pembelajaran diusahakan sering diterapkan diskusi kelompok atau
kegiatan berkelompok baik di dalam atau di luar jam pembelajaran supaya anak
akan mulai terbiasa untuk bergaul dan menyesuaikan diri dengan sosialisasi
meskipun mereka mengalami loncatan tapi hal ini tidak terlalu ditakutkan karena
menurut beberapa ilmuwan anak kelas akselarasi memiliki kecerdasan yang luar
biasa sehingga dia juga mampu untuk menyesuaikan diri di tengah pergaulan.
DAFTAR PUSTAKA
Rukiyati, dkk.
2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta :
UNY Press
Sunarso, dkk. 2008. Pendidikan kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press.
Rahayu Hartini. 2011. Respon Terhadap Problematikan Penegakan Hukum di Indonesia. Http://gagasan hukum.wordpress.com. Diakses tanggal 22 Maret 2012.
Tita Rostiawati, dkk. 2011. Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia. Http:
//education-generation. Blogspot. Com.
Diakses tanggal 23 Maret 2012
Penegakan Hukum di Indonesia buruk. Http://www.pikiran-rakyat. com. Diakses tanggal 23 Maret 2012
Masalah Penegakan Hukum. Http://dinatropika.wordpress.com.
Diakses tanggal 24 Maret 2012